Oleh: Lutfi Ahsanudin*
A. Abstrak
Fenomena sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat tidak akan lepas dengan kemampuan cara kerja akal manusia untuk bisa melahirkan sebuah gagasan yang dapat diterima oleh manusia itu. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan dalam pola pikir manusia baik yang bersifat trasendental metafisik ataupun eksakta, dalam tatanan keagamaan ataupun kehidupan mereka sehari-hari.
Sering kali seseorang itu tidak tahu bahwa cara kerja akalnya dan pola penalarannya pada suatu proposisi yang dia hadapi merupakan pola pikir yang sangat efektif dan implementatif. Sebab, manusia diciptakan pada dasarnya untuk berfikir dan berusaha mendayagunakan akal mereka dengan sebaik mungkin dalam kehidupan mereka selaku hamba Allah yang menjalankan tugasnya di muka bumi ini. Dan orang itu akan menyadari akan keefektifan pola pikirnya setelah diutarakan orang lain secara lebih presentatif dengan substansi yang sama.
Dalam tatanan keagamaan pun akal manusia selalu diasah dan tidak dimarginalkan begitu saja, akan tetapi sangat diperlukan untuk menggali hukum-hukum Islam yang tidak tertuang dalam nash-nash ilahiy. Ini membuktikan bahwa akal manusia merupakan hal yang urgen dalam menghukumi dan mengindentifikasi problem yang mereka hadapi.
Salah satu cara kerja akal manusia dalam memecahkan problem mereka adalah dengan menggunakan metode induktif atau yang lebih dikenal dengan istilah Istiqro'. Pola pikir seperti ini sering digunakan oleh manusia, akan tetapi mereka tidak tahu dengan istilah yang sudah ada, dan pola pikir ini sangat erat kaitannya dengan Ilmu Filsafat dan penalaran (logika) yang digagas oleh Filosofi Yunani kuno.
Tidak bisa dipungkuri lagi bahwa Filsafat Yunani memainkan perannnya dengan lihai dalam menyusun dan membentuk konsep-konsep cara berfikir secara logika yang benar dengan memeperhatikan intuisi akal manusia yang berakibat banyak dari sarjana muslim (baca:ulama) mencoba untuk mempelajari ilmu tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka pola pikirannya sejalan dengan metode Filsafat Barat dalam cara pandang logika atau penalaran untuk memecahkan suatu problem yang mereka hadapi.
Tak heran jika cara pandang seperti ini pun dikenalkan oleh ulama Islam dalam dalam melegitimasi hukum-hukum syari'at Islam yang tidak tertdapat nash-nash baik dalam al Kitabdan as Sunah. Lantas, sejauh mana para ulama Islam mnejadikan pola pikir ini sebagai argumentasi untuk menelurkan Islamic Jurisprudence dan rekontruksi hukum Islam? Dan bagaimana relevansi metodelogi induktif dalam modern issues dan proposi-proposi kontemporer?. Dari makalah sederhana ini, penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan diatas
B. Definisi dan Klasifikasi Induksi (Istiqro')
Secara etimologi Istiqro didefinisikan dengan arti tatabbu' (pengikutsertaan secara terus menerus)[1]. Kata ini merupakan derivasi dari kata qara'a yang diartikan mengumpulkan. Sedangkan dari segi terminologi, banyak sekali definisinya dan sangat variatif baik dari sudut pandang pakar Filsafat hukum Islam (ushuliyyun) dan pakar Filsafat ogika (mantiq) yang semuanya bermuara pada identifikasi bentuk-bentuk parsial empiris untuk membentuk suatu konklusi general universal yang diambil dari bentuk parsial tersebut[2]. Meskipun keberagaman defenisi, akan tetapi memiliki makna yang hampir sama, karena konseptualnya mengandung substansi yang sama. Dengan kata lain, metedologi induktif merupakan sebuah generalisasi horizontal yang memuat klonkusi dari parsial empiris partikular yang ada.
Sedangkan klasifikasi induksi ada dua macam; induksi sempurna (taam) dan inuduksi tidak sempurna (naqish). Induksi sempurna adalah adalah penelitian secara cermat ke semua keadaan partikular selain objek permasalahan untuk mencapai sebuah konklusi hukum general universal. Semua ulama ushul mengakui keabsahan istiqra’ tรขm sebagai dalil yang dipakai untuk menghasilkan sebuah produk hukum. Akan tetapi, derajat keabsahannya sebagai dalil masih dipermasalahkan. Mayoritas ulama ushul menilai bahwa istqra’ tรขmadalah dalil yang dogmatis, kokoh serta dapat diyakini kebenarannya.
Yang kedua adalah induksi tidak sempurna (naqish) Istiqra’ jenis ini adalah penelitian secara terperinci sebagian besar hal-hal partikular agar tercapai konklusi hukum general universal untuk menetapkan hukum objek permasalahan[3]. Ini berarti tidak semua permasalahan yang berada dalam cakupan hukum universal itu harus diteliti. Dengan kata lain, cukup mempelajari sebagian besar yang mewakilinya saja
Salah satu contoh yang sering kali terdapat dalam literaur ushul tentang metodek induktif adalah shalat witir. Apakah hukum shalawat witir itu wajib atau sunnah?. Menurut Syafi'iyah, Malikiyah dan Hanabilah sunnah, karena shalat witir tidak ditunaikan diatas kendaraan. Statement ini diperoleh lewat metode induktif setelah mencermati bentuk-bentuk parsialnya yang meliputi shalat fardlu, nadzar, qadlo dan segala ibadah fardlu lainnya tidak ditunaikan diatas kendaraan, maka hal ini melahirkan konklusi general bahwa setiap fardlu, tidak ditunaikan diatas kendaraan[4].
Terlepas dari perbedaan cara pandang ulama ushul fiqh tetang keabsahan induktif sempurna dan tidak sempurna, penulis cenderung lebih menekankan implementasi indukusi dalam probelmatika kotemporer agar prinsip dinamitas dan fleksibelitas syari'at Islam yang relevan di setiap saat bisa selalu dilestarikan. Karena itu, penting untuk saat ini membumikan metodelogi induktif baik ke dalam masalah-masalah fiqih kontemporer ataupun gejala-gejala fenomena lainnya yang berkembang di masyarakat.
C. Urgenitas dan Implementasi Metodelogi Induktif
Berbicara tentang metodologi induktif tidak akan lepas dari logika. Aristoteles yang dianggap sebagai bapak logika meklasifikasi dasar kerja intelektual agar membentuk suatu logika menjadi tiga bagian; memahami objek, membentuk dan memilahnya, dan menalar dari sesuatu yang tidak diketahui menjadi yang diketahui. Dari ketiga unsur tersebut munculah Logika yang bertujuan untuk menguji secara inferensif sebagai parameter suatu ilmu[5].
Logika induktif sendiri merupakan suatu gabungan dari cara kerja akal dan indera yang terkadang didukung oleh suatu eksperimen untuk memutuskan suatu teori yang kurang pasti. Disamping itu ekperimen ini seolah-olah merupakan sebuah pertanyaan untuk mengetahui kapasitas teori tersebut[6]. Dengan begitu, menggunakan akal pikiran secara induktif banyak sekali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dan pola pikir semacam inilah jalan untuk memajukan potensi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak sedikit dari ilmuwan-ilmuwan baik Barat dan Timur menggunakan metodelogi ini sebagai perantara untuk menemukan teori mereka.
Pada akhirnya, berkembangnya logika induktif telah membangun suatu in deepth studyatau studi mendalam terhadap seluruh fenomena sosial dan keilmuan, bahkan terhadap teks. Logika induktif membimbing seseorang pada suatu pengalaman partisipatif, di mana seseorang harus menjadi inner dari suatu kejadian atau peristiwa keilmuan dan sosial, dan bukan the outer yang berdiri di luar realitas sambil menarik kesimpulan tentang realitas itu.
Untuk membentuk suatu teori yang bertolak dari metode induktif tidak semata hanya memperhatikan bentuk-bentua parsialnya saja, akan tetapi diperlukan tiga fase dalam merealisasikannya. Tiga fase tersebut adalah
- Fase pertama; riset dan penelitian parsial empiris
- Fase kedua; pembentukan hipotesis berdasarkan bentuk parsial yang ada
- Fase ketiga; pendeteksian hipotesis yang tepat untuk dijadikan suatu konklusi teori[7].
Lebih lanjut, Hasan Habanakah menjelaskan panjang lebar tentang urgenitas induksi dan cara aplikasinya dalam sain teknologi yang sudah berkembang sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Dari sinilah bisa diketahui bahwa sangatlah urgen berfikir menggunakan metodologi induktif secara komprehensif terutama dalam memajukan sain dan teknologi. Tidak cuma teks-teks agama, metode induktif lebih implementatif dan aplikatif untuk suatu metode penelitian dalam problem kontemporer saat ini baik segi agama maupun sosial kemasyakatan[8].
Contoh yang lebih nyata yang sudah ada sampai saat ini dalam bidang sains adalah hukum Archimedes sebagai mana Hasan Habanakah sebutkan dalam fase pembentukan suatu hipotetsis yang akhirnya menjadi suatu teori yang kompetebel dan punya responsibilitas yang kuat[9].
Dengan demikian metodelogi induktif bisa didemonstrasikan dan diimplementasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, tidak cuma pada kajian-kajian agama saja dalam merekontruksi hukum Islam, akan tetapi merambah ke dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan jalar penalaran dan eksperimen yang punya responsibiltas tinggi.
D. Kesimpulan
Pola pikir secara induktif sebenarya kita temukan setiap saat dalam fenomena kehidupan, baik dari segi keagaaman dalam membentuk suatu hukum syari'at ataupun sosial kemasyarakatan. Tak heran jika ulama ushul pun menggunakannya dalam menentukan suatu hukum fiqih. Akan tetapi apa sebatas itu saja implementasi induksi? Kenyataan berkata lain, induksi sudah dikenal bahkan dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan terdahulu sebab pola pikir ini berkembang terus menerus sejalan dengan perkembangan manusia dalam mengamati peristiwa di sekitar mereka. Dari sinilah saatnya menggemakan metode ini secara persuasif kepada masyarakat lainnya.
* Penulis adalah mahasiswa tingkat 4 fakultas syariah wal qonun universitas al- Ahgaff, Tarim.
[1]. Dalam literatur ushul fiqh dan bahasa, hampir seluruh ulama menggunakan kata 'tatabbu' asy syai' daalm mendefinisikan Istiqro' secara etimologi. Akan tetapi penulis cenderung memilih kata tatabu' dengan arti mengidentifikasi atau mengeksplorasi, yang diambil dari perkataan sebagian ulama seperti Imam Ghazali yang menggunakan kata 'tashaffuh' dalam kitab al Mustashfa.
[2]. Mayoritas ulama mendefinisikan Istiqro' sebagaimana diatas, tapi terdapat definisi lain yang agak sedikit menarik dari Syeikh Abdurrahman Hasan Habanakah. Ia mendefinisikan dengan corak pemikiran yang bertolak dari bentuk parsial ke bentuk general secara intervensif. Dhowabith Al Ma'rifah, hlm 188.
[3]. Pembagian ini banyak sekali ditemukan dalam literatur ushul fiqh di semua madzhab.
[4]. Al Mustashfa, Imam Ghazali juz 1, hlm 161.
[5]. Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan PostModernisme, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1999, hlm. 23.
[6]. Dhowabith Al Ma'rifah, hlm 187.
[7]. Ibid hlm 200.
[8]. Kebalikan dari metode induktif adalah metode deduktif (istinbath) yang merupakan pengambilan klonkusi dari bentuk-bentuk yang general universal.
[9]. Lebih jelasnya tentang kisah ini, baca Dhowabith al Maslahah hal 206-207.